Selamat datang di website Allsysmedia, publication and communication agency

Buku Seringai Kunang-Kunang, Puisi yang Menyeringai

Buku kumpulan puisi Wisnu Pamungkas, Seringai Kunang-kunang, Cover design by Alexander Mering

Ketika kursi dan meja belum bermetamorfosa menjadi aneka bentuk dan rupa dalam kebudayaan manusia, homo sapiens—di awal-awal kehidupan di planet bumi ini—hanya mengenalnya dalam rupa seonggok batu atau sepotong log kayu kasar yang biasa dipakai untuk bertengger atau duduk.

Simak juga: Kata mereka tentang buku Seringai Kunang-kunang di link berikut ini

Saya pun tergoda membayangkan seperti apakah wujud sepenggal puisi pada saat itu? Jangan-jangan hanya berupa selarik cahaya yang bekerdap di balik gelap, atau sekadar seringai yang belum mengejawantah menjadi kata-kata hingga kelak aksara ditemukan.

Karenanya tak mudah untuk mendefinisikan puisi di buku berjudul Seringai Kunang-kunang ini. Meski sudah banyak teori atau karya ilmiah yang pernah dikemukakan para ahli, tetapi toch tetap saja itu hasil konvensi literasi atau kesepakatan yang dibuat para anak cucu homo sapiens tadi?

Demikian juga halnya dengan evolusi bentuk (design), makna dan fungsi meja-kursi yang terus berubah, seturut berkembangnya kebudayaan, rancangan idea, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Terlepas dari berbagai kisruh literasi dan perdebatan para pakar, penyair, dan seniman (terutama di Indonesia) mengenai karya mana yang pantas disebut puisi atau tidak, izinkanlah kami dari penerbit Allsysmedia mengumpulkan serpihan frasa, penggalan kalimat dan paragraf-paragraf singkat milik Wisnu Pamungkas yang terserak di internet, klipingan koran maupun sobekan buku diary-nya yang hampir ludes dikunyah rayap.

Dari ribuan judul puisi yang pernah ditulis oleh Wisnu Pamungkas antara tahun 90-an hingga 2021, kami menemukan lebih dari 148 puisi yang memiliki kesamaan tema, atau setidak-tidaknya memuat kata kunci yang sama yaitu #kunang-kunang[1]. Puisi-puisi inilah yang kami terbitkan menjadi buku untuk dipersembahkan kepada para pembaca yang budiman.

Baca juga: Seringai Kunang-kunang: Kembara ke Dasar Keindahan Bahasa dan Makna

Sebenarnya ada berbagai tema dan gaya penulisan yang Wisnu Pamungkas tampilkan saat mencipta karya sastra, sehingga sangat diperlukan kehati-hatian dan ketelitian ekstra dalam pengelompokan atau mengkurasi puisi-puisinya tersebut.

Merujuk kepada sajak-sajak dalam buku antologi puisi ini, apabila dilihat dari time frame waktu penulisan naskah, Wisnu Pamungkas nyaris tak pernah berhenti menulis. Bahkan tetap konsisten untuk tema dan kata kunci tertentu. Meski pun ada banyak tema dan gaya kepenulisan, namun Wisnu Pamungkas tetap konsisten menulis puisi dengan tema dan kata kunci yang sama selama 25 tahun! Salah satunya adalah naskah-naskah puisi dalam buku ini.

Simak puisi Kunang-kunang hujan, satu dari 148 puisi dalam buku Seringai Kunang-kunang

Sebagaimana proses kreatif para penyair, setiap karya juga mengalami proses “evolusi” seiring meningkatnya kapasitas dan pengalaman sang penulis. Demikian juga halnya dengan karya-karya Wisnu Pamungkas. Besar kemungkinan hal tersebut dimulai sejak project pertamanya di bidang literasi yang ia cetuskan tahun 1996 silam yaitu, ”menulis satu puisi satu hari atau mati!”

Maka tak heranlah jika saat ini puisi Wisnu Pamungkas sudah ribuan jumlahnya. Sebab sejak masa-masa awal proses kreatifnya sebagai penulis dia menciptakan lebih dari 365 judul puisi dalam setahun.

Sebagai catatan, Wisnu Pamungkas tidak hanya menulis puisi, tetapi juga beragam karya lainnya. Beberapa diantaranya telah diterbitkan oleh media lokal, nasional bahkan luar negeri, terutama untuk karya jurnalistik, karya ilmiah, dan karya sastra.

Simak Puisi: Sarenande Hujan Bulan Juni

Tak terelakan apabila puisi-puisi dalam buku ini juga dipengaruhi oleh aktivitasnya sebagai seorang jurnalis, blogger, travel writer, web master, desingner, dan social worker. Pekerjaannya telah membawa Wisnu Pamungkas terpelanting ke berbagai destinasi di planet ini. Mulai dari kampung-kampung paling terpencil di Papua, Sumba, Kalimantan, Mentawai, Zamboanga, dan New Mexico maupun kota-kota besar di dunia. Nah, dari tempat-tempat itulah puisi-puisi dalam buku ini ia tulis. 

Walaupun belum pernah menerbitkan buku puisinya sendiri, namun karya-karya Wisnu Pamungkas telah banyak diterbitkan bersama-sama karya penulis lain di Indonesia.

Terlepas dari kualitas dan kedalaman pemaknaannya, seluruh puisi yang ditulis oleh Wisnu Pamungkas di buku ini adalah kristalisasi frasa, bunyi dan makna yang berasal dari pengalaman puitika yang dipersonifikasikannya sebagai kunang-kunang yang berkelindan dengan absurditas hidup yang retak, terbelah, sendu dan menyakitkan. Ia menganggap dirinya tak lebih dari kunang-kunang luka, pungguk yang hanya bisa sesengguk, karena cinta tak lebih dari tahi kucing kering yang pesing dan anyir seperti nanah.

Simak Puisi: Hujan di Kasepuhan

Betapa pun sederhananya proses kurasi yang kami lakukan untuk buku Seringai Kunang-kuang ini, kami sungguh berharap tiap-tiap naskah dapat Anda nikmati seturut waktu dan tempatnya yang pantas. Kami percaya bahwa tiap-tiap karya bahkan setiap bait puisi memiliki takdirnya sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu naskah-naskah di buku ini tidak lagi tersaji secara linier berdasarkan urutan waktu, meski hampir dalam setiap puisi tercantum keterangan waktu dan tempat, kapan dan dimana karya-karya tersebut diciptakan.

Tahun 2017 silam Wisnu Pamungkas menulis di sosial medianya kalau puisi bukanlah sekadar kata-kata, tetapi juga sebuah proses, sebuah metaverse sekaligus peristiwa pembebasan makna dari tanda, dari kata-kata dan moksa bahasa. Karena itulah puisi tidak harus taat menggorok dirinya sendiri, agar menjadi sempurna, bahkan ketika bunyi dan kata-kata menolak bersekutu dengan arti dan tata suara untuk bersenada dengan makna yang paling liar sekaligus hierophany. Jika semua puisi dalam buku ini diperas, maka sari patinya adalah kunang-kunang dalam bentuk dan makna yang seluas-luasnya, melampaui makna sosio-antropuitika kebudayaan mana pun di dunia.

Sinar sejuta kunang-kunang dalam puisi memang tidak akan pernah seterang matahari, tetapi cahanya akan tetap berkerdip di suatu malam yang gelap. Bukankah puisi yang hebat tak akan lekang oleh ruang dan waktu. Sebab puisi yang sungguh-sungguh telah matang akan menjadi dirinya sendiri, berkelindan bersama pembacanya dari waktu ke waktu, bahkan ketika kita sudah pamit dari dunia yang fana ini.

 

Salam

Allsysmedia


[1] Tiap-tiap kebudayaan memiliki kisah tersendiri mengenai kunang-kunang (Lampyridae). Misalnya di kebudayaan Dayak Iban, jaman dahulu Empepat/Semepat (kunang-kunang) dianggap lampu yang dikirim lemambang bagi para kesatria Iban yang pergi mengayau (berperang dengan memenggal kepala musuh). Manang (dukun) suku Dayak Iban memakai kunang-kunang sebagai penuntun untuk melakukan perjalanan ke dunia roh. Sementara di kebudayaan Jepang, kunang-kunang dianggap air mata putri bulan yang jatuh dan tumbuh sayap. Menurut para ahli, terdapat lebih dari 2000 spesies kunang-kunang hidup di bumi.